Rabu, 27 Mei 2009

Al Balkhi dan Si Burung Pincang

A

l kisah hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal karena keshalehannya, bernama Al Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan sebutan Abu Ishak. Pada suatu hari, Al Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, ia tidak ketinggalan untuk berpamitan pada sahabatnya. Namun belumlah seberapa lama Al Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia telah datang lagi. Sahabatnya itu menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakan. Padahal negeri yang ditujunya itu sangat jauh letaknya. Abu Ishak yang pada saat itu sedang berada di masjid langsung bertanya kepada Al Balkhi, "Wahai Al Balkhi sahabatku, mengapa engkau begitu cepat pulang?"

"Dalam perjalanan, aku melihat suatu keanehan, sehingga aku segera memutuskan untuk membatalkan perjalanan", jawab Al Balkhi. "Keanehan apa yang engkau maksud ?" tanya Abu Ishak penasaran."Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab Al Balkhi menceritakan "Aku memperhatikan seekor burung yang pincang lagi buta. Bagaimana burung itu dapat bertahan hidup, padahal dia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tidak bisa". "Tidak lama kemudian", lanjut Al Balkhi, "Ada seekor burung lain yang susah payah menghampirinya dengan membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tidak pernah kekurangan makanan, karena ia selalu diberi makanan oleh temannya yang sehat".

"Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?", tanya Abu Ishak yang belum jelas maksud kepulangan sahabatnya itu dengan segera. "Maka akupun berkesimpulan", jawab Al Balkhi, "seraya bergumam bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberikan rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya ini. Kalau begitu, Tuhan Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupi rizkiku sekalipun aku tidak bekerja. Oleh karena itu, akupun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga".

Mendengar penuturan sahabatnya itu, Abu Ishak berkata, "Wahai Al Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela menyamakan derajatmu sejajar dengan seekor burung yang pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup atas belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah".

Al Balkhi kemudian menyadari akan kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah mengambil pelajaran dari kedua burung itu. Saat itu pulalah kemudian dia bangkit dan memohon diri kepada Abu Ishak seraya berkata, "Wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guruku yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan usaha dagangnya yang tertunda itu.

Dari kisah ini, mengingatkan kita semua kepada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma'dikarib ra bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda, "Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik dari seseorang yang memakan makanan selain daripada memakan dari hasil tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud as (merupakan contoh orang yang) makan dari hasil jerih payahnya sendiri". (HR. Bukhari)

Indahnya Persaudaraan

"Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya"

(HR. Bukhori, Muslim)

Suatu hari seorang sahabat Rosululloh Abu Tholhah dan istrinya belum sedikitpun mencicipi makanan. Rasa lapar sangat mendera perut mereka. Siang itu abu Tholhah memang tidak mendapatkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Seperti hari biasanya, sudah sangat sering hal itu terjadi. Ketika senja tiba, Rosululloh kedatangan seorang tamu. Rosululloh menanyakan kepada istrinya Aisyah, "Apakah kita mempunyai sedikit makanan untuk menjamu tamu kita"? Aisyah menjawab, "Kita tidak punya apa-apa wahai Rosululloh". Lalu Rosululloh menanyakan kepada istri-istrinya yang lain. Namun jawaban mereka seperti halnya juga jawaban Aisyah. Lalu Rosululloh bertanya kepada para sahabatnya, "Siapakah yang bersedia menjamu tamuku pada malam hari ini"? Tanpa menunggu-nunggu, ada diantara para sahabat yang mengangkat tangan mengatakan kesediaannya. Seorang sahabat mengatakan, "Saya wahai Rosululloh". Ia adalah Abu Tholhah. Lalu setelah sholat isya Abu Tholhah pulang beserta tamunya. Ketika tiba di rumahnya Abu Tholhah meminta istrinya untuk menyiapkan makan malam. Dengan sedih istrinya menjawab, "Kita tidak punya apa-apa wahai suamiku kecuali sedikit makanan untuk anak kita". Setelah Abu Tholhah berpikir sejenak ia berkata kepada istrinya, "Tidurkan anak kita, lalu siapkan makan malam untuk tamu kita, ketika akan makan, lalu padamkan lampu". Ketika tamu Abu Tholhah akan makan, maka lampu dipadamkan lalu Abu Tholhah mengecap-ngecapkan mulutnya seakan-akan ikut makan bersama tamunya. Setelah makan lalu Abu Tholhah mengantarkan tamunya untuk beristirahat. Begitu shubuh tiba mereka sholat shubuh berjamaah di masjid Nabawi, ketika melihat Abu Tholhah Rosululloh tersenyum lalu berkata, "Wahai Abu Tholhah sesungguhnya Alloh amat kagum melihat apa yang engkau perbuat tadi malam".

Ya, memang begitulah seharusnya saudaraku. Bila iman telah tertanam, orang lain yang jauh pun bisa menjadi saudara dekat. Ukhuwah, persaudaraan yang dibangun atas dasar iman, memang tak kenal batas. Apalagi ras, suku, bahkan negara. Batapa banyak orang yang tak punya hubungan darah dan kerabat, tetapi menjadi saudara lantaran iman yang menyatukan hati mereka. Rasa kebersamaan atas dasar iman menjadikan orang-orang yang bergabung di dalamnya betul-betul saling mencintai karena Alloh, rela berkorban, tanpa pamrih, saling menopang, tolong-menolong, tidak untuk yang lain. Karena ada sesuatu yang ingin mereka persembahkan kepada Alloh secara bersama-sama. Berupa amal sholih, yang diinginkan hanyalah ganjaran di akherat kelak berupa surgaNya semata.

Semoga Alloh senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayangNya, melimpahkan keberkahan kepada kita semua. Mempertautkan hati-hati kita sehingga menjadi menjadi hamba-hambaNya yang bersaudara. Setelah itu kita cuma berharap kepada Alloh agar menguatkan ikatan hati ini untuk saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaatan. Mengumpulkan jiwa-jiwa kita menjadi jiwa-jiwa yang lembut penuh kecintaan dan kasih sayang. Sehingga mendapatkan surga yang Alloh janjikan di akherat untuk mereka yang saling mencintai karena Alloh, tidak ada keindahan yang lebih kita inginkan dari kebersamaannya dan berkumpul di surga Alloh di akherat kelak.....

Senin, 25 Mei 2009

We(I) Did It Our(My) Way, part I

Bismillahirohmaanirrohiiim
Ba'da Tahmid dan Sholawat.
Awalnya adalah karena kami sendiri yang telah memilih dan meyakini jalan ini. Maka seharusnya kamilah yang melakoni dan memenuhi tuntutan dan kewajibannya. Perjalanan ini memberikan keyakinan pada kami bahwa kami tidak akan bisa konsisten dan teguh berjalan jika masih mengandalkan orang lain untuk terus menerus mengarahkan dan mendorong kami bergerak dalam da'wah. Kami berusaha memiliki taharruk dzatii atau gerakan yang didorong diri sendiri, bukan orang lain.
Ini karena apapun langkah yang kami tempuh, kamilah yang akan menerima kabaikan maupun keburukannya. Kami tidak boleh terlibat dalam jalan da'wah hanya karena terpesona oleh figur atau kekaguman kami terhadap seorang da'i atau murobbi. Tapi dari mereka pula kami belajar bahwa motif dan dorongan kami berada di jalan ini harus muncul dari motivasi iman. Kami juga mengetahui bahwa menggantungkan peran pada sosok figur boleh jadi memberikan kekecewaan pada diri kami dibelakang hari. Sebab, zaman telah membuktikan tidak sedikit sosok yang pada awalnya terlihat sangat kuat berinteraksi dengan da'wah, namun menjadi lunglai dan lemah ketika ketika ia harus terputus interaksinya dengan figur-figur tertentu.
Kami adalah da'i yang telah memilih jalan da'wah ini sebagai pijakan kaki kami. Sosok figur mungkin saja mempesona kami untuk lebih giat melakukan banyak kontribusi di jalan ini. Tapi bukan itu yang dominan di hati kami. Karena kami telah memilih untuk melangkah di atas kaki kami sendiri, di atas pemahaman dan keyakinan lubuk hati kami sendiri.
Beragam pengalaman yang kami peroleh di jalan ini mengilhami bahwa keberadaan kami di sini merupakan wasilah yang bisa memudahkan kami memperbaiki diri, saat kami melakukan kemaksiatan dan dosa. Arus lingkungan dan kehidupan kami memang kerap membenturkan kami dengan pilihan dosa dan ketaatan. Benturan yang peristiwanya tidak terjadi satu atau dua kali, tapi berulang kali. Terkadang saat iman kami lemah, kami bisa turut terhempas bersama arus kemaksiatan dan dosa itu. Bagaimanapun, itulah realitas yang harus terus kami hadapi di zaman yang penuh fitnah ini.
Namun, seperti yang kami katakan sebelumnya, jalan da'wah ini mengilhami betapa besar fungsi keberadaan kami di jalan ini. Kami memandang, terlibat dalam arus da'wah ini sama dengan fase 'ilaj (terapi/pengobatan) terhadap perilaku dan sikap kami yang bernilai kemaksiatan dan dosa. Karena itu, kami mendapatkan pelajaran berharga bahwa keluhan permasalahan akibat kemaksiatan dan dosa yang kami lakukan harus direnungi dan dipikirkan secara jujur, dicari jalan penyelesaiannya, dan bukan lari dari meninggalkan amal-amal shalih yang sebelumnya sudah kami kerjakan di jalan da'wah ini.
Jalan ini menanamkan keyakinan kuat kepada kami untuk tetap komitmen dengan prinsip-prinsip hidup sesuai dengan tuntunan Illahiah, di tengah gelombang penyimpangan yang luar biasa. Jalan inilah yang mampu mengokohkan kami hingga kami tetap merasa bangga menampilkan kepribadian Islam, di antara arus sikap-sikap yang berlawanan dengan Islam. Keanehan kami adalah keanehan istimewa, bukan yang memprihatinkan. Tidak akan pernah ada keasingan bersama Alloh swt. Dan tidak pernah ada keanehan selama kebersamaan dengan orang-orang shalih yang mengejar keridhaan Alloh. "Seperti ikan yang berada di laut, yang tak terkena imbas asinnya air laut. Seperti minyak yang berada di air, meski ia sama-sama zat cair". Seperti syair yang telah diungkapkan. "Sahabatku berkata, "Aku melihat engkau sebagai orang aneh di tengah manusia." Aku menjawab, "Tidak, justru mereka yang aneh, aku berada di duniaku dan inilah jalanku!" Ibnu Taimiyah juga pernah mengungkapkan, "Sesungguhnya ia bukanlah seorang dalam keramaian yang dihiasi dengan slogan pujian dan sanjungan. Ia bukanlah orang yang tertipu dengan berkumpulnya orang disekitar dirinya sebagai pengikut dan pendukung. Akan tetapi ia adalah manusia haq yang akan berjalan ke arah haq berjalan. Ia adalah orang yang berjalan di atas jalan yang lurus yang tidak terganggu oleh sedikitnya orang yang mengikuti, dan tidak terperdaya oleh jalan yang menyimpang, dan juga tidak tertipu dengan banyaknya orang yang celaka."
Ya, haazihii sabiilii (Inilah Jalanku). Jalan yang menjadikan kami tidak mudah terkesima dan tergoda dengan rona kemaksiatan dunia. Jalan para nabi, para sholihin, para shiddiqin, para syuhada, yang ingin menjadi pendamping Rosululloh di surga. Wallohu A'lam(Dari berbagai sumber)